Photo by: fsbl. |
Akhir-akhir ini kata sabar sering
terngiang. Semakin kerap terdengar. Agaknya banyak kejadian-kejadian yang
mengharuskan kata itu terucap. Baik oleh dan untuk orang lain, maupun oleh dan
untuk diri sendiri.
Mungkin mudah bagi saya berkata sabar
pada diri saya sendiri, meskipun akhirnya di dalam hati terus mengomel kemudian
tobat, lalu mengomel lagi. Lama-lama, hati dan pikiran pun jadi sibuk berdebat.
Sampai mulut tak sanggup berucap. Kalau sudah parah dan memuncak, biasanya di
pipi terasa ada yang merayap. Bening, tapi kalau ditahan bikin pala jadi
pening.
Beda lagi kalau berkata sabar pada
orang lain. Berkata sabar pada rekan, teman, kawan, sahabat, bahkan kerabat
dekat, terkadang menyisakan rasa bersalah. Bagaimana bisa saya berkata “sabar”
sedangkan saya sendiri belum tentu mampu bersabar saat menghadapi kejadian “kurang
baik” yang menimpa mereka di luar sana? Ah! Tapi selama ini kata sabar yang
paling sering keluar, terlebih saat bingung bagaimana harus berkata-kata untuk sekedar
menenangkan. Salah-salah, saya yang jadi sasaran?
Tapi, bagi saya, sabar adalah kata
yang membungkam. Mendengarnya membuat saya tidak berkutik dan gagal mengelak.
Bagaimana bisa seorang hamba mengelak dari ajaran Tuhan?
Kali ini saya tertampar oleh kalimat
saya sendiri. Dan seringnya memang begitu. Terlebih jika sedang bermonolog dan
berujung debat dalam hati. Ah, rasanya diri ini bagai musuh sendiri.
Tapi bukan! Diri ini akan selamanya
jadi kawan. Apa jadinya jika jasad dan ruh saling bermusuhan? Na’udzubillahimindzalik.
Amit-amiiiiit jabang bayik!
Kembali lagi bicara sabar.
Ternyata
makna sabar sungguh lah luas. Level sabar sungguh lah banyak. Dan saya? Belum cukup
luas punya hati untuk terus bersabar. Masih cetek nih level diri untuk bisa
dibilang sabar. Tapi saya bakal coba buat terus bersabar. Karena menuju sabar
yang ikhlas juga butuh kesabaran. Ya kan?
Emosi... ego… keduanya harus ditekan.
Kalau
sudah ndak kuat? Segeralah bersandar: pada Yang Maha Sabar.
0 komentar:
Posting Komentar