Angin. Lagi-lagi angin ini membelaiku. Menggoda dengan
sajak persuasif tuk sampaikan rindu yang kurasa belum menemui ujung dari segala
ujung rindu. Kurasa. Sekali lagi kurasa. Mungkinkah ini hanya perasaanku saja?
Aku pun tak pernah tahu pastinya. Tapi haruskah aku selalu membohongi diri
ketika triliunan detik yang kulalui – bermilyar detik yang mungkin tidak pasti,
diri ini pernah mengharapkan hadirnya dirimu disisi?
Aku tahu kau tak mungkin bisa sekejap hadir disini, dan
aku juga tahu bahwa pesulap pun tidak bisa dengan tiba-tiba membawamu ke sini.
Meskipun dengan mantra-mantra yang selalu diucapkan ketika pertunjukan
berjalan. Apalagi ibu peri di dalam dongeng yang dengan tongkat ajaibnya bisa
melakukan apapun. Doraemon dengan kantong ajaibnya yang mampu memuat apa saja – dan mungkin
memuatmu juga jika itu nyata. Satu lagi, kau tak bisa seperti Nobita yang bisa
kapanpun pergi dengan pintu kemana saja, juga terbang dengan baling-baling bambu
yang selalu dipinjamkan Doraemon kepadanya. Ajaib. Entah bagaimana dengan
keajaiban. Kubilang hidup ini tidak pasti.
Aku tidak pernah tahu bagaimana meredakan hal yang sangat
“tidak” menyiksaku ini. Bagaimana tidak? Melihat kawan bersama kekasih, berbagi
cerita, dihapuskan air matanya, dengan puas tertawa bersama, menghabiskan
sejenak waktu usai sekolah untuk sekadar saling menyapa, dan maaasih banyak
lagi. Mengakulah, kau pun pernah iri dengan mereka. Tidak? Baiklah, anggap saja
aku tidak butuh kejujuranmu. Ketahuilah bahwa ribuan pesan darimu hanyalah obat
rindu yang adiktif. Candu.
Me-review pesan-pesan
singkat darimu. Andai saja kala itu handphoneku
sudah canggih, mungkin aku tidak akan ragu untuk meng-capture momen-momen indah dalam “perpesanan” kita.
Kelucuan-kelucuan yang kau buat, meski secara tidak langsung aku mendengarnya,
tapi secara langsung aku dapat membacanya. Bisa jadi taraf kelucuannya tak jauh
beda ketika secara langsung kau menyampaikannya. Hahaha.. (Aku sedang mencoba
untuk menghibur diri).
Sejenak kuteguk segelas air putih di atas meja. Kurasa ini membuatku
sedikit tenang. Aku bangga masih belum tergoda untuk sekadar menggerakkan
bibirku dan mengucap kata itu – rindu. Memilih untuk memperhatikan gores-gores
pena yang sejak tadi kubuat. Menggambarkan betapa kalutnya ini pikiran. Menuai
konflik yang terus saja berlanjut hanya karena menahan goda.
***
Segera saja kuputuskan untuk bergegas meninggalkan teras
sejuk ini. Berpindah ke suatu ruang yang mampu membuatku nyaman. Benar-benar
nyaman. Sejenak ku berbaring menatap jendela. Memastikan telah berada di
wilayah yang aman dari jangkauan sang bayu. Kemudian kupejamkan mata. “Rindu”,
tergoda bibir ini berkata.
0 komentar:
Posting Komentar