Jumat, 19 Desember 2014

, ,

Terakhir Merindumu

photo by: https://missing-someone
Malam ini sedikit tidak bersahabat. Gemuruh langit yang tampak, tak seramah biasanya. Membuat Dewi Malam dan ribuan bintang absen dari jadwal yang seharusnya. Rintikan air jatuh perlahan, mencoba meramaikan suasana. Tapi hembusan angin yang begitu menusuk membuatku makin terjebak dalam… hampa.
Beku. Seakan terjebak dalam nostalgi yang perlahan menghapus asa. Dinding yang begitu tebal terasa semakin kokoh menghadang –ketika aku hampir runtuh. Menyumbat kebuntuan dan membuatnya makin buntu. Mampat. Memblokir segala jalan menuju Roma.

Ketika kalut tiba-tiba datang. Usaha yang kutempuh seakan berbalik menampar. Tepat sasaran. Bergabung dengan suasana membentuk belati. Menyayat hati yang turut beku dalam sekejap. Menarik diri ke dalam cerita berplot flashback. Membawa wajah yang telah lama hilang ditelan perubahan. Menggandeng keadaan yang telah lama tak kurasakan. Di sisi lain, pikiran yang tak seucap dengan hati terus mencoba untuk mendobrak. Memecah suasana yang kian tak pasti. Seperti akan mati, jantungku ingin berhenti.

Sedikit mulai kusadari, mungkin aku terlalu takut hingga memilih untuk menghindarimu –dulu. Saat aku merasa bahwa ini satu-satunya jalan diantara semua kebuntuan. Kutahui, ini keputusan salah yang justru membuatnya menutup jalan. Fatamorgana yang tak pernah menipuku sebelumnya, kini kurasa.

Alur yang begitu rumit, ku buat makin rumit. Jalan yang begitu sempit, ku buat makin sempit.

Terjebak dalam desakan waktu. Terhimpit dalam jutaan detik yang masih tersisa, yang pada akhirnya akan habis ditelan masa. Direnggut belenggu yang secara bersamaan menggerogoti zaman. Membuatku terseok dalam berjalan. Tiada arah, tanpa tujuan. Dibekukan dinginnya malam.

Lagi-lagi aku dibawa kembali ke masa lalu. Dulu ketika “kau” dan “aku” hampir satu. Merajut asa dalam harap penuh doa. Tapi… mungkin hanya aku yang merasa bahwa kita hampir satu, sedangkan bagimu terlalu jauh –tak sedikitpun menyentuh kata “hampir” karena kau sibuk memilin tali. Tali-tali gantung, yang berpilin begitu rumit. Alhasil kau gantungkanku dengan kuat. Dalam pilinan yang tak mungkin dapat kulepas. Meski hanya seutas.

Cerdas. Manis kata yang bahkan tak sedikitpun kuduga kau anggap angin lalu yang bagiku angin sejuk penghapus pilu, yang harusnya kusadari: ini angin palsu. Tidakkah kau malu?

Kini, bait-bait puisi berlagu jadi lebih berarti. Ditambah melodi yang sengaja kucipta untuk menghapus sepi. Menuruti rindu akan “keindahan sesaat” di waktu dulu. Mencipta bait tuk angin palsu yang mungkin malah membawanya terbang: hilang berlalu.

Masih terjebak dalam beku. Bulir bening hujan menemui jalannya di wajahku. Memahami bahwa luka ini belum sepenuhnya kering, aku tak ingin terlalu larut dalam lautan garam. Mencoba membuang segala asa yang sekian lama dan sudah terlalu lama. Kini penantianku bertepi. Berlabuh pada janji: merindumu, untuk yang terakhir kali.
Share:

Related Posts:

0 komentar:

Posting Komentar