Sabtu, 02 September 2017

, ,

Bapak

photo by: https://father-illustration

Bapak.
Malam itu saya dan Bapak pergi jalan-jalan. Cuma berdua saja. Saya duduk di samping Bapak yang sedang menyetir sambil mendengar lagu-lagu MLTR kesukaannya. Kalau bosan, saya minta volume musiknya diturunkan. Tapi, oleh Bapak pasti lagunya dimatikan. Setelahnya, dimulailah percakapan kecil antara saya dengan Bapak.
Obrolan antara kami berdua biasanya diawali dengan pertanyaan Bapak tentang bagaimana masa depan saya nanti. Sudahkah saya punya rencana, apa yang sudah saya dapat selama ini, dan pertanyaan tentang bagaimana saya akan hidup nanti.
Disambung dengan cerita bagaimana Bapak tiap hari bekerja, sesekali curhat juga tentang keadaan sekolah tempatnya kerja yang jauh, berujung pada cerita bagaimana Bapak (dan tentunya bersama Ibu) menyiapkan masa depan saya dan adik saya. Diiringi dengan nasihat-nasihat agar anaknya sukses. Orang tua pun bahagia.
Nggak cukup di situ, biasanya obrolan dilanjutkan dengan cerita tentang anak-teman-teman-kerjanya Bapak yang barusan lulus kuliah, diterima kerja, dipromosikan oleh perusahaan tempatnya bekerja, dan cerita sukses lain yang katanya "bukan untuk membanding-bandingkan tapi untuk memotivasi saya".
Seriing sekali Bapak menyampaikan "harapan-harapannya" kepada Saya. Bapak ceritakan doa-doa untuk saya yang selalu disampaikan pada-Nya seusai sholat.
Iya. Saya diharapkan.
Masih di latar cerita yang sama, di mana saya dan Bapak masih duduk di dalam mobil sambil bercakap. Bapak memberi nasihat. Sesekali saya iyakan. seringnya hanya mengangguk, dan di beberapa bagian ceeita saya hanya menatap kepada Bapak -dan jalan raya di depan. Sisanya? Saya berpikir.
Iya. Saya berpikir.
Mendengar cerita tentang bagaimana Bapak dan Ibu sudah bersiap untuk masa depan saya (juga adik) membuat saya merasa bersalah, jika sesekali saya abai dengan kewajiban saya kepada mereka. Entah karena saya lupa, atau keral kali saya kesampingkan untuk hal-hal yang penting --bagi saya.
Mendengar cerita tentang Bagaimana Bapak bekerja seriap hari; membuat saya malu mau berkeluh. Tiap pagi Bapak berangkat ke sebuah SD yang lokasinya jauuuh dari rumah. Ngajar anaknya banyak orang. Mikul tanggung jawab yang nantinya bakal dipertanggungjawabkan.
Mendengar harapan-harapan Bapak yang disampaikan kepada saya membuat saya jadi malu.
Bagaimana bisa Bapak sudah memberi saya fasilitas yang cukup, tapi belum saya maksimalkan. Bagaimana Bapak (selalu) ingin anaknya tidak kekurangan dalam hal apapun agar mudah meraih sukses yang dicita-citakan.
Jelas, Bapak selalu berusaha agar harapannya tidak sia-sia. Tidak disia-siakan.
Saya?
Apa saya sudah (selalu) berusaha agar tidak mengecewakan harapan-harapan Bapak?
Share:

0 komentar:

Posting Komentar